Saya tidak tahu istilah Profil Pelajar Pancasila saat itu. Yang saya tahu, siswa saya harus belajar bukan hanya dari buku, tapi dari pengalaman langsung. Maka saya ajak mereka membuat sendiri sistem penguat audio. Dari nol.
Di awal semester, saya siapkan proyek sederhana: membuat rangkaian penguat suara berdaya kecil. Isinya minimal terdiri dari penguat mikrofon, tone control, penguat daya, dan tentu saja power supply-nya. Semua siswa saya ajak untuk merancang sendiri, mencetak PCB, menyolder komponen, merakit ke dalam box, hingga menguji sinyal dan respons frekuensi. Tidak semua berhasil dalam sekali coba. Tapi dari situlah pembelajaran paling dalam terjadi.
Ada yang PCB-nya terbalik, ada yang solderannya short, ada yang speakernya tidak keluar suara. Tapi saya tidak buru-buru memberikan jawaban. Saya hanya bertanya: “Coba analisis, bagian mana yang tidak sesuai prinsip kerja?” Dari sanalah mereka mulai berpikir kritis.
Yang menarik, setelah proyek selesai, saya minta mereka menulis pengalaman mereka di blog. Bahasa mereka kadang polos, kadang teknis, tapi semuanya mencerminkan refleksi yang jujur. Saya sadar, ini bukan hanya praktik elektronika. Ini adalah pembelajaran karakter. Mereka belajar mandiri, gotong royong, kreatif, dan tidak menyerah.
Kini setelah mengenal Kurikulum Merdeka, saya tersenyum sendiri. Rupanya, semangat merdeka belajar itu sudah kami jalankan sejak dulu, meski belum ada istilahnya. Saya hanya mengikuti naluri sebagai guru: bahwa anak tidak butuh ceramah panjang, mereka butuh pengalaman yang membekas.
Dan hari ini saya ingin membagikan cerita ini, bukan untuk dikenang, tapi untuk diwariskan kepada guru-guru muda: bahwa ruang praktik adalah ruang karakter. Bahwa solder, transistor, dan PCB bisa menjadi jalan menuju pelajar yang berpikir kritis dan berakhlak kuat.
Semoga pengalaman kecil ini bisa menjadi inspirasi, dan semoga setiap murid kita kelak mengenang sekolah bukan karena nilainya, tapi karena pengalaman belajarnya yang membentuk hidupnya.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan